Sabtu, 23 Juni 2012

SAAT POHON TAK MAMPU BERKEMBANG


Biarakan sebuah asa yang pernah ada menguap terbawa udara yang tak tahu entah kemana kan berujung,  aku tak pernah meminta balas atas sebuah rasa. Namun aku sangat menghargai rasa yang kuberikan kepadanya. Ini hanya masalah waktu entah masalah kedewasaan yang  belum terpecahkan dalam realita.
Awal kisah saat aku jumpa seonggok pohon nan rapuh, namun bukan pohon tua yang layu, ini pohon muda tanggung tak terlalu besar batangnya, sedang nampak sederhana. Pohon ini banyak cabang, dedaunan hijau mengelilingnya namun, pohon ini layu tak sumringah seperti pohon-pohon lainya. Ia selalu takut untuk tumbuh padahal cabangnya bisa setinggi langit kalau mau, namun hanya impian ia punya, sedang untuk tumbuh ia takut.
Suatu aku hari aku bertanya “pohon kenapa engkau tak ingin mengembangkan badanmu, dan kau hanya meringkuk dalam impian?” pohon pun bercerita, aku ingin kembangkan cabang ku ke Barat namun pagar sebelah nampak rapuh aku takut menghancurkanya, aku ingin kembangkan cabangku ke Utara namun pohon pisang nampak lemah disana aku takut menusuknya, aku ingin kembangkan cabangku ke Timur namun Matahari begitu nampak dekat aku takut terbakar, aku ingin kembangkan cabangku ke Selatan namun aku takut tenggelam kabarnya disana banyak lautan, aku ingin kembangkan akarku ke bawah namun ku dengar cacing menggertak kelaparan aku takut mereka melukaiku, aku ingin kibarkan daunku ke atas namun aku takut angin bertiup kencang hingga daunku jatuh berhamburan.
Pohon ini hidupmu kau berhak untuk bahagia, mendapatkan apa yang kau mau dan kau impikan. Iya aku paham manusia, namun aku punya duniaku, aku tak mau dirugikan gara-gara aku berkembang, aku takut terluka. “Apakah kau senang dengan hidupmu saat ini pohon?” tanyaku mengiba, sejujurnya tidak, aku kesepian, aku butuh sentuhan, siraman dan sinar. Lalu kenapa kau masih membelenggu dirimu dalam ketakutan?, “karena aku mempunyai duniaku yang orang lain takkan mengerti siapa aku” jawab pohon datar.
Aku lelah berharap bahwa pohon akan berubah demi indahnya dirinya sendiri, demi kesenangannya sendiri. Namun ia memilih membelenggu dirinya dengan ketakutan, kecurigaan dan prasangka-prasangka. Hanya dirinya sendiri yang paham akan dunianya, ia tak memperbolehkan orang lain masuk dalam dunianya, hanya ada dia dan dirinya.
“Ikan pun takkan menunggu di sungai yang kering,
 dan monyet takkan menunggu pisang yang layu,
musang juga takkan menunggu pohon yang tak tumbuh


Syafira , dalam heningnya perenungan.

0 komentar:

Posting Komentar