"kau pikir aku ada di sini untuk apa
kau kira sejauh ini ku datang untuk siapa
kau rasa kulakukan apapun untuk siapa
sangat ingin ku katakan ini untukmu
untukmu, untukmu, ini untukmu"
kau kira sejauh ini ku datang untuk siapa
kau rasa kulakukan apapun untuk siapa
sangat ingin ku katakan ini untukmu
untukmu, untukmu, ini untukmu"
Sepenggal lirik lagu Shanti feat Donee yang berjudul Untuk Siapa ini, adalah salah satu lagu favorit aku. Ya, untuk siapa aku disini, selalu menjadi alasan untuk ku melakukan suatu tindakan. Bukan hal yang benar, tentu itu sikap yang sangat tidak dewasa. Ya itulah aku saat itu, selalu mencari alasan bodoh dalam melakukan sesuatu.
Hafalan Shalat Delisa, sebuah Film yang diangkat dari novel berjudul sama, karya penulis bernama Tere Liye. Sutradara Sony Gaokasak mengerjakannya berdasarkan skrip yang ditulis Armantono. Delisa (Chantiq Schagerl) tinggal di sebuah rumah panggung tepi pantai. Hari-harinya diisi dengan bermain bola bersama anak-anak cowok, dan bercengkerama dengan ibu, yang dipanggilnya ummi (Nirina Zubir) dan tiga kakaknya yang semuanya perempuan.
Ya, begitulah kira-kira gambaran awal cerita film Hafalan Shalat Delisa, namun tulisan ini bukan tentang film diatas, namun dari salah satu aspek yang ada dalam film ini, yaitu IKHLAS. Kedengarnya sangat mudah diucapkan namun tak smua orang dapat melakukanya dengan sempurna.
“Uztad kenapa ya dalam melakukan sesuatu kadang terasa sulit?” tanya Delisa dalam sebuah adegan dalam film, “karna terkadang kita melakukannya tidak iklas, atau kita melakukannya karna ada hadiahnya” begitulah kira-kira sang uztad menjawabnya. Mungkin teman-teman kurang paham apabila belum menonton filmnya, namun tulisan ini sekali lagi bukan tentang filmnya namun apa arti ikhlas itu sendiri. Dari situlah aku mulai tersadar betapa pentingnya kita melakukan sesuatu harus berdasarkan rasa ikhlas.
Waktu-waktu yang tlah ku jalani banyak hal yang aku lewati tanpa mengenal ikhlas, sungguh terlalu bodoh saat itu. Misal saja dalam kuliah aku kadang memandang dosen yang mengampu mata kuliah, jika dosen itu enak menurut subjektif kita maka pasti akan mengambil dosen itu berturut-turut pada mata kuliah yang beliau ampu, juga begitu sebaliknya, jika menurut kita dosen itu tidak enak dalam mengajar maka kita tidak memilihnya. Ironi memang, bukan karna mata kuliah apa yang harusnya kita prioritaskan namun dosen mana yang menjadi prioritas kita.
Dalam bergaul juga ada sisi dimana kita merasa nyaman satu sama lain. Maka kadang ada beberapa orang yang sangat selektif dalam bergaul dan memilih teman, namun itu bukan aku kawan. Dalam organisasi kita ditutut loyalitasnya namun tak semua anggota organisasi melakukanya. Ketidak ikhlasanku dalam organisasi bermula dengan kedekatanku dengan salah satu anggota disana, aku mau datang rapat kalau dia datang, berusaha melakukan yang terbaik agar nampak sempurna dimatanya, hahaha bodoh sekali kan dan akhirnya dia sekarang bersanding disisi wanita lain.
Beberapa saat yang lalu Tuhan menunjukan akibat dari ketidak ikhlasanku yang lain. Pertama, hal ini terjadi dimana aku sering nge-gym, aku kenal seseorang sebut saja S, nah karna seringnya aku melihat si S di sana maka muncullah kekagumanku terhadapnya, jadi niatan awalku nge-gym buat bentuk badan berubah karna ada si S aku sering datang. Dan akhirnya rajinlah aku nge-gym, namun selang waktu berjalan malah sebaliknya dia yang jarang kelihatan entah apa sebabnya. Otomatis aku sangat kecewa kawan, namun aku tetap datang rutin ke gym walaupun tanpa melihatnya. Suatu sore saat aku memasuki ruang gym munculah si S menaiki tangga, aku lumayan terkejut dengan keberadaanya, dalam hati terasa ingin meloncat-loncat, namun hal itu hanya berlangsung sebentar, entah apa sebabnya semua itu terasa hambar, berbeda seperti saat pertama kali aku mengenalnya semua terasa menyenangkan dan berbunga-bunga.
Kedua, adalah saat aku mengikuti sebuah kursus. Alasan aku mengikutinya karna ajakan teman dan kebetulan ada kakak angkatan yang nampaknya sukses dalam mengikutinya. Hal ini tak jauh berbeda dengan hal diatas, saat aku dekat dengan temanku itu aku slalu berangkat bersamanya namun saat dia pergi, semangatku untuk berangkatpun menurun sehingga berakibatlah pada turunnya nilaiku, sehingga membuatku tidak lulus pada level kedua, namun bisa dibilang berkah akibat ketidak lulusanku, aku mengenal orang baru disana.
Singkat cerita aku mulai kagum terhdapnya, kekagumanku bukan karna aku benar-benar mengaguminya soalnya secara tipe dia bukan tipeku, sebut saja D. Sikap D lah yang membuat aku kagum padanya, ya D selalu membuat aku tertawa, jadi apa salahnya aku mengaguminya, ya hanya sekedar mengagumi, tak berani lebih. Karna D lah aku menjadi semangat lagi berangkat kursus, sepeninggalan temanku. Namun suatu saat D pun tak kunjung muncul sehingga kadang aku kecewa kalau aku berangkat tak ada D. Ya baru sampai disitu aku ditunjukkan Tuhan tentang ilmu ikhlas ini terhadap kehadiran sosok D dalam kehidupanku. Sampai aku menonton Film Hafalan Shalat Delisa, aku pun sadar sikapku terhadap kurusku karna D adalah hal yang salah.
Seharusnya aku tak melakukan hal diatas karna “dia” (faktor alasan subjektif) yang menimbulkan rasa ketidak ikhlasan timbul. Sungguh mennyesal aku melakukanya. Namun apa arti sebuah penyesalan tanpa perbaikan. Nah, kini waktuku untuk memperbaiki kesalahanku yang dimana telah terjadi pantas untuk menjadi pelajaran kedepannya agar lebih ikhlas dalam melakukan sesuatu. Bukan karna,
“dia,
dia bisa datang menemani,
dia bisa membuat kita nyaman,
dia bisa membuat kita senang dan terbang,
dia mungkin bisa membantu menggapai impian kita,
namun,
dia juga bisa pergi,
dia bisa lari jauh tak kan kembali,
dia juga bisa mati,
dia bisa menhancurkan kita sewaktu-waktu,
dia juga bisa membuat kita kecewa,
jadi,
kenapa harus dia, jika kita bisa tanpanya,
kenapa harus dia, jika ujungnya hanya fatamorgana
dia, hanya faktor faktor alasan subjektif yang tak berlogika,
dia, hanya fatamorgana,
bukan kepastian, “
Lalu akankah kita mengulangi kesalahan yang sama? Berubahlah kawan sebelum kecewa, lakukan segala sesuatu dengan ikhlas tanpa pamrih, jika melakukan hal yang baik lakukanlah tanpa harus dipertunjukkan kepada orang lain bahwa kita orang baik. Toh orang akan menilai kita dengan sendirinya tanpa kita harus berpura-pura menjadi orang lain, semua akan nampak pada akhirnya kawan.
Kawan-kawanku tersayang marilah bersama-sama berubah, memperbaiki yang telah salah, menjadi lebih baik dan belajar ilmu ikhlas. Bukan untuk orang lain, namun utuk diri kita sendiri.
Tiada sesuatu yang tepat untuk membayar sebuah kekecewaan kecuali iklas.
Ara Syafira, renungan akhir tahun, disudut kota.
0 komentar:
Posting Komentar