Biarakan
sebuah asa yang pernah ada menguap terbawa udara yang tak tahu entah kemana kan
berujung, aku tak pernah meminta balas
atas sebuah rasa. Namun aku sangat menghargai rasa yang kuberikan kepadanya. Ini
hanya masalah waktu entah masalah kedewasaan yang belum terpecahkan dalam realita.
Awal kisah
saat aku jumpa seonggok pohon nan rapuh, namun bukan pohon tua yang layu, ini
pohon muda tanggung tak terlalu besar batangnya, sedang nampak sederhana. Pohon
ini banyak cabang, dedaunan hijau mengelilingnya namun, pohon ini layu tak sumringah
seperti pohon-pohon lainya. Ia selalu takut untuk tumbuh padahal cabangnya
bisa setinggi langit kalau mau, namun hanya impian ia punya, sedang untuk
tumbuh ia takut.
Suatu aku
hari aku bertanya “pohon kenapa engkau tak ingin mengembangkan badanmu, dan kau
hanya meringkuk dalam impian?” pohon pun bercerita, aku ingin kembangkan cabang
ku ke Barat namun pagar sebelah nampak rapuh aku takut menghancurkanya, aku
ingin kembangkan cabangku ke Utara namun pohon pisang nampak lemah disana aku
takut menusuknya, aku ingin kembangkan cabangku ke Timur namun Matahari begitu
nampak dekat aku takut terbakar, aku ingin kembangkan cabangku ke Selatan namun aku takut tenggelam kabarnya
disana banyak lautan, aku ingin kembangkan akarku ke bawah namun ku dengar
cacing menggertak kelaparan aku takut mereka melukaiku, aku ingin kibarkan
daunku ke atas namun aku takut angin bertiup kencang hingga daunku jatuh
berhamburan.
Pohon ini
hidupmu kau berhak untuk bahagia, mendapatkan apa yang kau mau dan kau impikan.
Iya aku paham manusia, namun aku punya duniaku, aku tak mau dirugikan gara-gara
aku berkembang, aku takut terluka. “Apakah kau senang dengan hidupmu saat ini
pohon?” tanyaku mengiba, sejujurnya tidak, aku kesepian, aku butuh sentuhan,
siraman dan sinar. Lalu kenapa kau masih membelenggu dirimu dalam ketakutan?, “karena
aku mempunyai duniaku yang orang lain takkan mengerti siapa aku” jawab pohon
datar.
Aku lelah
berharap bahwa pohon akan berubah demi indahnya dirinya sendiri, demi
kesenangannya sendiri. Namun ia memilih membelenggu dirinya dengan ketakutan,
kecurigaan dan prasangka-prasangka. Hanya dirinya sendiri yang paham akan
dunianya, ia tak memperbolehkan orang lain masuk dalam dunianya, hanya ada dia
dan dirinya.
“Ikan
pun takkan menunggu di sungai yang kering,
dan monyet takkan menunggu pisang yang layu,
musang
juga takkan menunggu pohon yang tak tumbuh
Syafira , dalam heningnya perenungan.
Syafira , dalam heningnya perenungan.